Perkembangan teknologi yang sangat pesat tentu menyajikan kemudahan bagi setiap orang. Namun, dibalik segala kemudahan yang ditawarkan itu terdapat berbagai tantangan baru dalam rangka penyesuian terhadap perkembangan teknologi. Menyadari hal ini, penerbit Gramedia Pustaka Utama mengadakan Seminar Nasional bertemakan “Tantangan Literasi di Era Digital”, yang dilaksanakan pada Kamis, 14 Maret 2019 yang bertempat di h-Boutique Hotel Yogyakarta dengan menghadirkan 2 pembicara yakni Eko Indarto, ST., M.M (Direktur PT. Jogja Medianet) dan P. Sarjito (Vice President of Business & Relations PT. Gramedia Digital Nusantara).
Pada seminar ini disampaikan materi terkait berbagai tantangan, kondisi literasi yang terjadi saat ini di Indonesia dan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dalam memilah dan memilih informasi yang sangat beragam terutama informasi dari media online. Antusiasme pada seminar ini cukup besar, terbukti dengan hadirnya 100 peserta yang hadir, dan salah satu diantaranya adalah perwakilan dari Fisipol UGM yakni Ibu Yuli Hesti Wahyuningsih, S.IP (Pustakawan).
Literasi menjadi salah satu hal penting dalam tolok ukur kemajuan sebuah bangsa, dimana membaca menjadi langkah awal untuk membuka dan memperluas pengetahuan seseorang dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah Republik Indonesia mendukung kegiatan gemar membaca melalui UU Nomor 2 tahun 1989 yang menyatakan bahwa dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, kebiasaan membaca perlu ditanamkan pada setiap warga negara. Kemampuan seseorang dalam hal membaca ataupun menulis disebut literasi. Tingkat literasi Indonesia masih sangat rendah, yakni menduduki peringkat 60 dari 61 negara (most littered nation in the world , Central Connecticut State University tahun 2016).
Kemajuan teknologi memberi kemudahan bagi manusia dalam berbagai hal. Hadirnya teknologi membawa perubahan kultur dan gaya hidup bagi setiap orang. Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan melihat smartphone dalam jangka waktu yang cukup lama, yaitu 5,5 jam per hari. Kultur baru yang terbentuk perlu diberikan asupan konten yang positif dan mencerdaskan. Tingginya tingkat penggunaan teknologi di Indonesia (Internet, telefon selular, maupun media sosial). Perubahan teknologi informasi berimbas pada kebebasan terhadap akses informasi dan ekonomi digital (e-Commerce). Alfin Toffler lewat bukunya berjudul “Future Shock” (1970) sudah memprediksi hadirnya era informasi yang berlebihan (information overload). Kondisi tersebut sedang terjadi saat ini dimana tidak ada yang bisa menghambat derasnya arus informasi. Namun ledakan informasi tersebut juga menimbulkan kesenjangan informasi dimana informasi tidak memiliki nilai kemanfatan, serta informasi beredar tidak merata dan hanya di kelompok tertentu saja. Dengan demikian hal itu dapat menghambat proses inkusivitas informasi dan memperlebar kesenjangan literasi informasi.
Dalam seminar ini disampaikan pentingnya peran pemerintah, masyarakat dan para praktisi “pejuang” informasi dalam mengantisipasi ledakan informasi yakni sebagai berikut:
1) Peran pemerintah yakni dalam meningkatkan program literasi informasi, sehingga masyarakat melek dan mampu memilih dan memilah informasi yang berguna, pemerintah harus menyediakan portal dan media yang mudah diakses oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang minim akses media; dan organ pemerintah harus transparan dan akuntabel, dari presiden hingga lurah/kepala desa dengan cara melalui koridor keterbukaan informasi publik.
2) Peran masyarakat yakni dapat dimulai dari keluarga, dengan cara menemukan dan memilih konten yang benar (hindari hoax) dan bijaksana dalam merespon terhadap informasi.
3) Peran bagi para praktisi “pejuang” informasi yakni mampu meningkatkan literasi informasi dengan menyediakan bahan bacaan yang bermutu dan mudah diakses oleh masyarakat melalui 2 pendekatan yakni adaptasi teknologi menyesuaikan trend dan menyiapkan sumberdaya manusia agar siap dan menang berkompetisi.